.

.

diary part#11 makalah perkembangan moral pada anak usia dini


MAKALAH
PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK USIA DINI


Disusun untuk memenuhi tugas Perkembangan Anak Usia Dini

Disusun oleh:
Mufarrohah
Maulida triska refiana putri
Imroatul Islamiyah
Umrotul hidayatin
Sofi Fikriya Putri
Titin Sulistiawati
Sajiyah

Dosen pembimbing:
Widayati,S.Pd, M.Pd


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016



Kata Pengantar


            Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur kepada Allah Swt, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa sholawat dan salam kami limpahkan kepada Nabi Muhammmad SAW, pada para sahabatnya, keluarganya sampai kepada kita umat-Nya.
Alhamdulillah makalah yang kami buat ini berjudul Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini. Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Perkembangan Anak Usia Dini. Makalah ini tersusun tak lepas  dari bimbingan Bu Widayati,S.Pd, M.Pd. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih atas bimbingan beliau. 
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami berharap kritik dan saran membangun dari semua pihak guna sempurnanya makalah ini.
Akhirnya kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi dunia pendidikan. Amin




                   Bangkalan, Oktober 2016






DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................................... 2
Daftar Isi                                                                                                                                             3
BAB I
Pendahuluan                                                                                                                                        4
1.1  Latar Belakang ............................................................................................................................. 4
1.2  Rumusan Masalah........................................................................................................................ 4
1.3  Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 4
BAB II
2.1 Makna Agama Bagi Anak............................................................................................................ 6
2.2 Tahap Perkembangan Moral-Keagamaan pada Anak Usia Dini.................................................. 7
2.3 Cara Meningkatkan Perkembangan Agama pada Anak............................................................ 11
BAB III
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... .............14
3.2 Saran............................................................................................................................................ 14
Daftar Pustaka...................................................................................................................................             15
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
            Peneliatan ilmiah  yang mengkaji asal – usul munculnya nilai – nilai moral dan keagamaan pada anak – anak hingga saat ini masih langka, walaupun sebenarnya penelitian ini termasuk dalm wilayah psikologi.  Selama ini, berbagai penelitian di bidang psikologi trutama psikologi perkembangan belum banyak menyentuh wilayah mistik dalam diri anak, yakni kejiwaan agama.
Mungkin, studi yang cukup berani menyelami wilayah ini adalah psikologi agama. Akan tetapi, berbagai penelitian psikologi agama selama ini justru lebih banyak memperbincangkan metode pendidikan agama pada anak, bukan tahap – tahap perkembangan keagamaan itu sendiri. Akibatnya, anak – anak terkesan “dipaksakan” untuk menerima berbagai degma agama yang belum tentu sesuai dengan tahap perkembangannya.
Seandainya ada ppenelitian di bidang psikologi agama yang mengkaji perkembangan agama pada anak, justru terkesan “kurang ilmiah” karena kental dengan nuasan normatif yang sulit dibuktikan secara empiris. Oleh karana itu, wilayah keilmuan yang menjadi harapan satu – satunya untuk mengungkapkan tahap – tahan perkembangan agama pada anak secara ilmiah akademik adalah psikologi perkembangan. Namun, hingga saat ini para psikolog, termasuk piaget dan harlock, belum begitu menaruh perhatian pada studi ini.
Terlepas dari masih sangat terbatasnya studi empiris mengenai perkembangan agama pada anak – anak, fakta menunjukkan bahwa sejak anak dilahirkan hingga dewasa, agamanya selalu mengikuti orang tua atau orang yang mengasuhnya. Dengan kata lain, agama anak – anak adalah “agama turunan” yang secara otomatis diwarisi dari orang tuanya. Jika orang tuanya beragama islam, maka anaknya juga beragama islam. Montessori mengungkapkan bahwa para psikolog dan peneliti tidak perlu bersusah payah mengungkap kondisi kejiwaan anak, karena anak sendirilah yang akan mengungkapkan kondisi kejiwaan anak, karena anak sendirilah yang akan mengungkapkan kondisi kejiwaan mereka sendiri. Hal ini ini disebabkan yang mengetahui kondisi jiwa hanya anak itu sendiri, bukan orang lain.





1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat rumusan masalah sebagai berikut  :
1.       Apa makna agama bagi anak?
2.    Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral-keagamaan pada anak usia dini?
3.    Bagaimana cara meningkatkan perkembangan agama pada anak?

1.3 Tujuan Penulisan
         Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka terdapat beberapa tujuan antara lain:
1.        Untuk mengetahui makna agama bagi anak
2.        Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral
3.        Untuk mengetahui cara meningkatkan perkembangan agama pada anak























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna Agama Bagi Anak
            Anak bukan orang dewasa yang kecil. Akan tetapi, anak adalah manusia unik dan orisinil yang baru lahir ke dunia. Dalam konteks keagamaan, tentu makna agama yang dipahami oleh anak itu berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang dewasa. Perlu kita ketahui bahwa rasa beragama itu berbeda dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama adalah informasi tentang agama yang bersumber dari kitab suci, sedangkan Rasa agama adalah buah dari  pengetahuan terhadap agama tersebut. Menurut Zakiah Daradjat, anak-anak sudah mempunyai rasa beragama melalui perkembangan bahasa yang diucapkan orang tua atau orang dewasa di sekelilingnya.
           Anak-anak lebih suka kosakata bahasa dari pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu agama ? siapa tuhan ? apa itu surga ? apa itu neraka ? dan lain sebagainya. Perkembangan kognitif anak belum mampu menjangkau pemikiran yang bersifat abstrak.  Oleh karena itu dalam hal agama, tuhan, surga, neraka, mereka selalu mempersepsikan secara konkrit sejauh anak mampu untuk menjangkaunya.
Ex: Tuhan adalah allah, (namun dalam versi anak-anak kristen katolik) dimaknai sebagai bapak besar, agung, dan juga kuat yang berada di langit. Dalam pemaknaan agama yang demikian itulah, pola pikir anak akan meningkat. Anak akan mulai bertanya Bagaimana allah naik ke atas langit ? Apakah allah mati seperti orang lain ? Bagaimana allah mengambil orang-orang yang mati ? Bagaimana allah menjadikan dirinya sendiri ? Apakah allah itu menikah ? dan lain sebagainya.
Makna konkrit yang seperti itulah yang membuat anak sangat ingin berkomonikasi dengan tuhan. Akan tetapi, karena tuhan tidak hadir dengan bentuk yang konkrit. Akhirnya mereka menulis surat untuk tuhan. Menurut penelitian paloutzian melampirkan beberapa data langsung berupa tulisan surat untuk tuhan yang ditulis oleh seorang anak yang berusia 11 tahun. Mungkin, anak-anak yang orang tuanya beragama Islam akan memaknai agama dan tuhan sedikit berbeda dengan sampel penelitian Paloutzian  diatas, sehingga cara berkomonikasi dengan tuhan tidak dengan surat. Sebab bahasa yang digunakan untuk berkomonikasi dengan anak-anak Islam telah melarang mereka memersepsikan tuhan seperti benda konkrit seperti ayah atau orang dewasa. Jika anak-anak kristen-katolik berkomonikasi dengan Tuhan melalui surat, maka anak-anak islam akan berkomonikasi dengan tuhan melalui “Doa” seraya mengangkat kedua tangan ke atas.
           Walaupun demikian, makna agama bagi anak-anak , baik Islam maupun Kristen-Katolik, Bahkan semua agama, mempunyai titik persamaan persepsi, yakni rasa aman, kasih sayang, dan perlindungan. Dan, ketiga hal tersebut ada dalam diri seorang ayah, bukan seorang ibu. Karena ibu dalam pandangan anak itu kurang kuat atau kurang dapat memberi perlindungan yang aman. Inilah sebabnya mengapa jika anak-anak mengadu atas hal yang mengancam dirinya selalu kepada ayah, bukan kepada ibunya.
           Dalam anak-anak Kristen-Katolik sangat dipengaruhi oleh bahasa atau kosa kata “Tuhan Bapak” dalam bibel. Sehingga persepsi “Tuhan adalah Bapak” Menurut anak-anak Kristen-Katolik adalah Tuhan ayah  sebagaimana adanya. Sementara anak-anak muslim dan yang lain mempersepsikan Tuhan sebagai ayah hanya sebatas sifat perlindungan dan keamanan yang ada pada dirinya saja.
            Terlepas dari perbedaan tersebut, yang pasti Tuhan bagi anak-anak adalah sifat-sifat keamanan dan perlindungan. Karena sifat-sifat ini ada pada diri seorang ayah, maka anak-anak memaknai Tuhan sebagai “Ayah”.
Paloutzian mengatakan :
“ God is said to be like that perfect parent who, either literally or spirutually, is always there to provide you and sense of security  and protect you from danger”.
“Allah dikatakan seperti orang tua yang sempurna, baik secara harfiah atau rohani, yang selalu ada untuk memberikan  rasa aman dan melindungi anak dari bahaya”.
           Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna agama bagi anak-anak adalah suatu yang bersifat konkrit dan jauh lebih kuat dari pada dirinya, sehingga mampu memberikan perllindungan, sebagaimana ayahnya yang selama ini melindungi dan memberikan rasa aman kepadanya.
2.2 Tahap Perkembangan Moral-Keagamaan pada Anak Usia Dini
                      Telah banyak psikolog yang mencoba melakukan penelitian untuk mengkaji perkembangan  keagamaan (religiustik) pada anak. Akan tetapi, semuanya kandas ditengah jalan dan terhenti pada pembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan social-emosional. Walaupun demikian, mereka menggunakan pendekatannya masing-masing dalam meneliti perkembangan keagamaan pada anak. Alah satu psikolog yang menggunakan metode ini adalah piage. Ia mengkaji perkembangan keagamaan pada anak dengan pendekatan moral-kognitif.
a.       Perkembangan agama dengan pendekatan moral kognitig piaget
Dengan membandingkan perbedaan antara kognitif anak-anak dengan orang dewasa, ditemukan bahwa terdaapat proses hokum moral yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kognitif merupakan dasar bagi perkembangan moral. Akan tetapi, piaget masih ragu apakah perkembangan moral bias menjadi dasar atau pijakan perkembangan agama pada anak-anak atau tidak. Oleh karena itu, piaget hanya berharap agar pendekatan moral-kognitifnya mempunyai korelasi paralel dengan perkembangan agama, tidak lebih dari itu, piaget membuat alasan moral dan tiga tahapan kognitif.
Piaget memperkenalkan dua tahap moral,yaitu tahap moral realisme dan tahap moral kemerdekaan. Piaget mempertanggungjawabkan kedua tahap moral tersebut melalui cerita atau kisah baik buruk. Kemudian, anak diminta untuk mengatakan benar atau salah atas cerita yang diberikannya tersebut. Kedua tahap moral inilah yang menjadi dasar tahap kognitifnya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat memahami atau menafsirkan agama secara konkrit (benar-salah). Hanya dengan pemahaman yang konkrit seperti itulah anak-anak dapat menilai moralitas dalam agama secara lebih konseptual dan abstrak.
Selain dua tahap moral sebagaimana disebutkan di atas, piaget juga mengusulkan sebuah teori perkembangan kognetif secara general melalui tiga tahap. Ketiga tahap perkembangan kognetif  tersebut adalah:
1.       tahap pra-operasional (2-7 tahun)
 pada tahap  ini, anak belum mampu berpikir secara logis dan abstrak
2.      Tahap operasional (7-11 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak mulai menggunakan klasifikasi dan logika yang operasional
3.      Tahap operasi formal ( setelah usia 11 tahun)
Pada tahap ketiga, anak mulai mengembangkan mental dan berpikir secara abstrak dan konseptual. Pada tahp inilah anak-anak mampu membedakan agamanya dapat diketahui dengan mudah. Namun, kepentingan kita di sini adalah melihat perkembangan agama pada anak usia dini, bukan perkembangan moral. Dan, piaget hanya memberikan informasi sampai di sini.
Selanjutnya, seorang psikolog telah melanjutkan dan mengembangkan kedua tahap moral piaget dan tiga tahap perkembangan kognitifnya di atas. Psikolog tersebut tidak lain adalah Lawrence Kohlerberg. Ia mengeksplorasi secara langsung teori piaget menjadi tiga tahap perkembangan moral, yang masing-masing tahap mempunyai dua subtahap, sehingga jumlahnya menjadi 6 tahap. Secara sederhana.
b.      Perkembangan moral Kohlerberg
1)      Pra-konvensional: penekanan pada control eksternal
a)      Orientasi pada hukum dan kepatuhan. Salah dan benar ditentukan oleh apakah ia mendapat hukuman atau mematuhi peraturan.
b)      Orientasi instrumental relatif. Benar dan salah ditentukan oleh ganjaran atau hadiah atas perjuangannya.
2)      Konvensional: menekankan pada kesenangan orang lain
a)      Orientasi hubungan manusia. Benar dan salah ditentukan oleh perbuatan seseorang di lingkungan sekitar.
b)      Orientasi pada pemeliharaan system sosial. Benar dan salah ditentukan oleh pemeliharaan tatanan social.
3)      Akhir Konvensional: penekanannya pada pengakuan terhadap konflik dan alternative
a)      Orientasi kontrak social. Benar dan salah ditentukan oleh kesepakatan social
b)      Orientasi prinsip etis. Benar dan salah ditentukan oleh adat-istiadat internal.
Sampai di sini, perkembangan piaget dan kohlerberg baru menyentuh dimensi moral secara umum, dan belum menyentuh pada wilayah agama secara khusus, terlebih lagi perkembangan keagamaan pada anak. Akan tetapi, teori piaget di samping dikembangkan kohlerberg, juga diikuti oleh David Elkind. Elkind inilah yang mengembangkan teori piaget ke dalam pola perkembangan keagamaan pada anak.
c.       Perkembangan keagamaan pada anak
Elkind menyatakan bahwa terdapat 4 tipe kebutuhan mental yang muncul ketika anak tumbuh dewasa.
1)      Pencarian untuk konservasi
Penyebutan ini berdasarkan ide bahwa anak-anak memiliki ketetapan sebagai objek yang mempunyai kekurangan. Pada tahap ini, anak-anak menganggap hidup adalah abadi.
2)      Tahap pencarian representasi
Tahap ini dimulai sejak masa pra-sekolah. Dua hal yang terpenting pada masa ini adalah gambaran mental dan perkembangan bahasa
3)      Pencarian relasi
Tahap ini dimulai pada masa pertengahan kanak-kanak. Pada tahap ini, anak-anak sudah mulai mengalami kematangan mental, sehingga mereka dapat merasakan hubungan dengan tuhan
4)      Pencarian tentang pemahaman
Selama anak-anak tumbuh dewasa, mereka semata-mata menyerap jalinan persahabatan dan perkembangan kemampuan untuk berteori.
d.      Tahapan pemikiran atau perkembangan beragama pada anak.
Sedikit berbeda dengan Elkind, Harms justru menyimpulkan bahwa hanya ada tiga tahapan tentang pemikiran atau perkembangan  beragama pada anak. Tiga tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Tahap firetale (usia 3-6 tahun)
Pada tahap ini anak mempresentasikan keadaan tuhan yang menyerupai raksasa, hantu, malaikat bersayap, dan lain sebaginya.
2)      Tahap realistis (7-12 tahun)
Pada tahap ini, anak cenderung mengonkritkan beragama. Tuhan dan malaikat dipersepsikan sebagai penampakan yang nyata. Mereka bagaikan “manusia” yang luar biasa dan berpengaruh bagi kehidupan di bumi.
3)      Tahap individualistik (13-18 tahun)
Tahap ini ditandai dengan adanya tiga kategori, yaitu ide beragama kolot, mistis, dan symbol. Pada tahap ini, anak sudah mulai menentukan pilihan terhadap model agama tertentu.
Tabel Perkembangan Nilai-Nilai Moral-Keagamaan Anak Usia Dini
N0.
Usia
Perkembangan Nilai-Nilai Moral Keagamaan
1.
Lahir – 1 tahun
a.    Senang mendengarkan music religi (islami)
b.    Senang mendengarkan senandung doa
2.
1 – 2 tahun
a.    Mampu menirukan sepatah dua patah kata dalam bacaan doa
b.    Menirukan sebagian kecil dari gerakan ibadah
c.    Mengenal “nama” Tuhan (Allah)
3.
2 – 3 tahun
a.    Mengikuti senandung lagu keagamaan
b.    Meniru gerakan beribadah
c.    Mengucapkan salam
4.
3 – 4 tahun
a.    Mengikuti bacaan doa secara lengkap
b.    Menyebutkan contoh makhluk ciptaan Tuhan
c.    Mampu menyebut “nama” Allah
d.   Mengucapkan kata-kata santun, seperti maaf, tolong, dan lain-lain
5.
4 – 5 tahun
a.    Berdoa sebelum dan sesudah makan,tidur, dan aktivitas lainnya
b.    Mampu membedakan ciptaan tuhan dan benda mainan buatan manusia
c.    Membantu pekerjaan ringan orang tuanya
d.   Mengenal sifat-sifat Allah dan mencintai Rasulullah saw
6.
5 – 6 tahun
a.    Mampu menghafal beberapa surah dalam al-qur’an, seperti al- Ikhlas dan an-Naas
b.    Mampu mengahafal gerakan shalat secara sempurna
c.    Mampu menyebutkan beberapa sifat Allah
d.   Menghormati orang tua, menghargai teman-temannya, dan menyayangi adik-adiknya atau anak di bawah usianya
e.    Mengucapkan syukur dan terima kasih

2.3  Cara Meningkatkan Perkembangan Agama pada Anak
Sebagai orang tua atau guru, kita tidak akan membiarkan anak didik kita mrngalami keterlambatan dalam perkembangan keagamaannya. Sebab, jika anak mengalami keterlambatan dalam hal ini, kadar kegeniusannya akan berkurang. Oleh karena itu, guru dan orang tua perlu memberi stimulasi agar anaknya menjadi jenuis dengan menumbuhkembangkan rasa keberagamaannya. Berikut ini terdapat beberapa stimulasi untuk meningkatkan perkembangan agama pada anak.
a.    Mengikutsertakan anak dalam kegiatan – kegiatan keagamaan
Melibatkan anak dalam kegiatan keagamaan secara langsung dapat memberikan “kesan” khusus dalam diri anak tanpa melalui nasihat – nasihat islami, yang sering kali justru tidak dipahami anak. Dalam hal ini, kegiatan keagamaan yang bisa melibatkan anak secara aktif dalam bermain di lingkungan masjid, mengikuti pendidikan ekstra kulikuler di masjid atau taman pendidikan Al-Qur’an ( TPA), mengajak anak shalat di masjid, kerja bakti membersihkan lingkungan masjid, dan lain sebagainya.
Jika memungkinkan, ikutkan anak anda dalam berbagai perlombaan keagamaan, seperti lomba adzan, lomba hafalan surah pendek, lomba busana islami, dan lain sebagainya. Terlebih lagi jika anak mampu menghayati ritual keagamaan, seperti mengikuti  lomba adzan, tilawatil Qur’an, cerdas cermat agama ( CCA ), dan lain sebagainya. Pengalaman anak dalam mengikuti dan menghayati ritual keagamaan tersebut akan menghujam kedalam relung hati yang paling dalam, sehingga anak bisa merasakan berbagai pengalaman keagamaan tersebut. Dan, pengalaman yang dirasakannya inilah yang akan menjadi dasar atau fondasi bagi kepekaan beragaman selanjutnya.
b.    Membiasaan ketaaatan beribadah
Untuk membina ketaatan beribadah pada anak usia dini, sebaiknya tidak perlu dijelaskan secara detail mengenai kewajiban beribadah , seperti shalat lima waktu dan sunnah – sunnah lain dalam berbagai aktivitasnya. Pembinaan ketaatan beribadah ini lebih jauh efektif melalui pembiasaan dan keteladanan dari kedua orang tuanya. Sebab, anak usia dini belum mampu menangkap penjelasan logis  transendental secara optimal. Dengan demikian, yang di ajarkan kepada anak adalah praktik langsung setahap demi setahap. Kemudian biasakan untuk beribadah tepat pada waktunya, supaya anak mudah untuk mengerti waktu – waktu beribadah. Dengan membiasakan ibadah tepat pada waktunya serta meminta anak untuk menirukan gerakan ibadah tersebut, semakin sering akan semakin terbiasa, dan dalam jangka waktu tertentu, anak anda akan menghafal gerakan ibadah anda.
Jika anak anda sulit menghafal tat cara beribadah hingga usia 6 ( enam ) tahun, maka tidak ada salahnya jika anda mengajarkan  cara menghafal gerakan beribadah. Sekedar contoh, mungkin ketika shalat berjamaa’ah anda tidak bisa memerhatikan gerakan shalat anak anda, terutama pada rukun – rukun tertentu. Oleh karena itu, tidak ada salahnya anda mengajarkan hafalan gerakan shalat sebelum mengajarkan bacaan shalat.
Setelah anak mampu menghafal gerakan ibadah, maka ajarkan bacaan – bacaan ibadah dalam setiap rukunnya. Selah itu, maka dalam jangka waktu tertentu, anak anda akan melakukan ibadah tepat pada waktunya tanpa harus anda suruh – suruh lagi. Meskipun begitu, anda harus senantiasa mendampingi atau menjadi imam mereka. Jika tidak, kebiasaan baik ini akan semakin luntur dan lama – kelamaan hilang.
c.     Pembacaan kisah Qur’ani dan nabawi
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa pembacaan kisah atau dongeng dapat mengasah imajinasi dan sosial – emosional anak. Adapun imajinasi itu sendiri merupakan pola berfikir kreatif yang mampu mengantarkan pesan tertentu secara cepat dan mendalam. Nah, jika kisah atau dongeng tersebut bertemakan topik – topik keagamaan, maka imajinasi anak akan cepat menangkap pesan agama, sehingga rasa agamanya cepat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Oleh karena itu, usahakan sesering mungkin untuk membacakan kisah atau cerita yang termaktub di dalam kitab suci ( Al-Qur’an ). Kitab suci tersebut banyak sekali menyajikan kisah atau cerita yang sangat menakjubkan. Sekedar contoh, kisah 25 Nabi, Ashabul kahfi, burung ababil, dan lain sebagainya. Di samping itu, juga perlu dibacakan kepada anak – anak cerita atau kisah perjalanan nabi dan Rasul Allah. Sekedar contoh, kisah perjalanan nabi muhammad saw, mulai dari ketika beliau menikah, di angkat menjadi rasul , menerima wahyu, isr’ mi’raj, perang uhud, perang badar, ditinggal istri, kakek dan pamannya, dan seterusnya hingga wafatnya beliau.
Kisah – kisah tersebut dapat menumbuhkan perasanaan beragam pada anak, juga mampu menstimulasi berfikir abstrak pada anak, sehingga ketika dibicarakan kisah – kisah Qur’ani tersebut seolah – olah dirinya berada dalam situasi atau konteks dalam kisah tersebut, tentu ini merupakan kemajuan daya pikir konseptual yang abstrak dan transendental. Kemampuan berfikir secara abstrak transendental ini yang akan mengukuhkan rasa beragam pada anak, sehingga pengalaman tersebut akan dibawanya hingga masa dewasa, bahkan di masa tua renta kelak.
d.   Mendidik keshalehan sosial
Perkembangan keagamaan yang baik akan berpengaruh pada perilaku sosial yang baik pula. Oleh karena itu, pola pendidikan agama pada anak tidak boleh di pisahkan dari nilai – nilai moral yang berlaku di masyarakat setempat. Atas dasar ini, pendidikan agama pada anak perlu diaktualisasikan dalam kehidupan sehari – hari, seperti berbakti kepada orang tua, suka menolong, rela berbagi mainan,menghormati yang lebih tua, dan lain sebagainya.
Dengan memberikan berbagai stimulasi keagamaan di atas, diharapakan anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi jenius dengan kesempurnaan rasa beragamanya. Apa indikasi tercapainya perkembangan agama pada anak jenius? Tabel berikut ini menunjukkan indikasi ketercapaian perkembangan rasa beragam pada anak jenius.


































BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang perkembangan moral pada anak usia dini, maka diambil kesimpulan:
1.      Makna agama bagi anak – anak adalah sesuatu yang bersifat konkrit dan jauh lebih kuat daripada dirinya, sehingga mampu memberi perlindungan, sebagaimana ayahnya yang selama ini, melindungi dan memberikan rasa aman kepadanya.
2.      Tahap perkembangan moral – keagamaan pada anak usia dini,setiap psikologi menggunakan cara-caranya tersendiri untuk meneliti. Perkembangan agama dengan pendekatan moral kognitif (Piaget), perkembangan moral Kohlerberg, perkembangan keagamaan pada anak (David Elkind), Tahapan pemikiran atau perkembangan beragama pada anak (Harms).
3.      Beberapa anak yang lebih cepat dalam memahami arti agama, tetapi ada pula yang terlalu lambat menangkap pesan agama. Anak yang cepat dalam memahami makna agama akan semakin menambah kegeniusannya. Sebaliknya, anak yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan agamanya kurang sempurnalah kegeniusannya.
3.2  Saran
1.      Setiap anak memiliki pemahaman yang berbeda, oleh karena itu pendidik harus mengetahui sampai mana anak itu memahami tentang moral.
2.      Perkembangan moral yang dilakukan oleh psikologi dengan cara pendekatan kognitif, seharusnya psikologi melakukan penelitian tentang perkembangan moral pada anak usia dini.
3.      Dalam perkembangan moral anak, sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,sekolah, masyarakat serta media informasi lainnya. Oleh karena itu perhatian orang tua sangat diperlukan untuk bekal anak-anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.







DAFTAR PUSTAKA

Suyadi, M. Pd. I. 2010. Psikologi Belajar Paud. Yogyakarta: Bintang Pustaka Abadi.

0 komentar:

Posting Komentar

"Silahkan Berkomentar Susuai Topik atau Artikel di Atas Terimakasih"

Transparent Sexy Pink Heart